Recent post
Archive for Agustus 2014
Denanda Hendra P.
XI-Akselerasi(03)
A. MENDESKRIPSIKAN MAKNA PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek- subjek hukum
internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum
tertentu. Perjanjian ini sering dilakukan antara negara-negara sahabat, yaitu
sebagai sarana manusia dalam mengadakan hubungan dengan sesama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tujuan pedanjian internasional di antaranya yaitu
untuk menyelesaikan sengketa antarbangsa, memelihara perdamaian, ketertiban
serta kesejahteraan manusia. Beberapa makna Perjanjian Internasional, antara
lain sebagai berikut.
1. Konferensi Wina Tahun 1969
Perjanjian intemasional adalah
perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau Iebih yang bertujuan untuk
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
2. Prof.Dr. Muchtar Kusumaatmadja, S.H .LLM
Perjanjian Internasional adalah
perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan
akibat-akibat hukum tertentu.
3. Dr. B. Schwarzenberger
Perjanjian internasional adalah
persetujuan antara subjek hukum internasional yang
menimbulkan kewajiban-kewajiban
yang mengikat dalam hukum lnternasional, dapat
berbentuk bilateral maupun
multilateral. Subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga internasional
dan negara-negara.
4. Oppenheimer-Lauterpact
Perjanjian internasional adalah
suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan
hak dan kewajiban diantara
pihak-pihak yang mengadakan.
5. Michel Virally
Sebuah perjanjian merupakan
perjanjian internasional bila melibatkan dua atau lebih negara atau subjek
internasional dan diatur oleh hukum Internasional.
6. B. Sen
Unsur-unsur pokok dari perjanjian
internasional adalah: (a) perjanjian adalah sebuah kesepakatan; (b)
kesepakatan tersebut terjadi antarnegara termasuk organisasi internasional; dan
(c) setiap kesepakatan memiliki tujuan menciptakan hak dan kewajiban di antara
para pihak yang berlaku di dalam suasana hukum nasional.
Dengan
demikian dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian internasional adalah
kesepakatan antara dua atau lebih subjek hukum internasional (lembaga
internasional, negara) yang menurut hukum internasional menimbulkan haky dan
kewajiban bagi para pihak yang membuat kesepakatan.
MACAM-MACAM PERJANJIAN
INTERNASIONAL DAN PENJELASANNYA
Perjanjian Internasional memiliki
berbagai macam. Berikut adalah macam-macam perjanjian internasional berdasarkan
kategorinya:
1) Berdasarkan Jumlah Pihak Yang Terlibat
Berdasarkan jumlah pihak yang terlibat dalam perjanjian,
perjanjian internasional terbagi kepada dua bentuk:
a) Perjanjian Bilaterial
Perjanjian internasional merupakan kata sepakat antara dua
atau lebih subyek hukum internasional ( Negara, tahta suci, kelompok
pembebasan, organisasi internasional ) mengenai suatu obyek tertentu yang
dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum
internasional.
Dalam pengertian lain, perjanjian bilateral adalah
perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Perjanjian bilateral merupakan
perjanjian yang bersifat khusus (treaty contract) karena hanya mengatur ha-hal
yang menyangkut kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat
tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam
perjanjian tersebut.
Contonya:
- Perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Malaysia pada tahun 1974
- Perjanjian bilateral Indonesia India di bidang pertahanan dan ekonomi pada tahun 2011
- Perjanjian bilateral Indonesia Perancis di berbagai bidang pada tahun 2011
- Perjanjian bilateral Indonesia Timor Leste di bidang lingkungan pada tahun 2011<
- Perjanjian bilateral Indonesia Vietnam di bidang kebudayaan dan hukum pada tahun 2011
b) Perjanjian Multilateral
Perjanjian multilateral berarti perjanjian yang diadakan
oleh banyak pihak. Perjanjian ini biasanya tidak hanya mengatur kepentingan
pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Dalam definisi lain, perjanjian multilateral didefinisikan
sebagai perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak. Dalam perjanjian ini tidak
hanya mengatur kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tetapi
juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka,
yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian
tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.
Contohnya:
- Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
- Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.
- Oppenheimer-Lauterpact, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.
- Konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
- Konvensi Hukum Laut (tahun 1958).
- Konvensi Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik.
2) Berdasarkan Sifatnya
Berdasarkan sifatnya, perjanjian internasional dapat
dibedakan atas treaty contract dan law making treaty.
1. Treaty contract adalah perjanjian
yang dimaksudkan untuk melahirkan akibat-akibat hukum yang hanya mengikat
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kedalam jenis perjanjian seperti ini
dapat dicontohkan perjanjian antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat
Cina tentang dwi kewarganegaraan. Akibat-akibat yang timbul dari perjanjian ini
hanya mengikat Republik Indonesia dan RRC.
2. Law making treaty adalah perjanjian
yang akibat-akibatnya menjadi dasar ketentuan atau kaidah hukum internasional.
Kedalam jenis ini dapat dicontohkan Konvensi Hukum Laut (tahun 1958). Konvensi
Winna (tahun 1961) tentang Hubungan Diplomatik, dan Konvensi Jenewa (tahun
1949) tentang Perlindungan Korban Perang.
3) Berdasarkan lsinya
- Segi politis, seperti Pakta Pertahanan dan Pakta Perdamaian. Contohnya adatah NATO, ANZUS dan SEATO;
- Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan. Contohnya adalah Cgi , IMF dan iBRD;
- Segi hukum, seperti status kewarganegaraan (Indonesia-RRC), ekstradisi, dan sebagainya;
- Segi batas wilayah seperti laut territorial, batas alam daratan dan sebagainya;
- Segi kesehatan seperti masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.
4) Berdasarkan Prosesi Tahapan Pembentukannya
- Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi;
- Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan;
- Setiap negara yang berdaulat memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional. Sedangkan negara bagian tidak mempunyai wewenang mengadakan perjanjian internasional, kecuali jika diberi wewenang untuk itu oleh konstitusi negara federal.
5) Berdasarkan Subjeknya
- Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional;
- Perjanjian internasional antarnegara dan subjek hukum internasional lainnya. Misalnya antara organisasi internasional Tahta Suci (vatikan) dengan organisasi MEE;
- Perjanjian antarsesama subjek Hukum Internasional selain negara, yaitu antara organisasi internasional organisasi internasional Iainnya. Misalnya kerja sama ASEAN dan MEE.
6) Berdasarkan Jenisnya
1. Traktat (treaty): yaitu persetujuan
yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih yang mengadakan hubungan antar
mereka. Kekuatan traktat sangat ketat karena mengatur masalah-masalah yang
bersifat fundamental.
2. Konvensi (convention): yaitu
persetujuan resmi yang bersifat multilateral atau persetujuan yang diterima
oleh organ suatu organisasi internasional. Konvensi tidak berkaitan dengan
kebijakan tingkat tinggi.
3. Deklarasi (declaration): yaitu
pernyataan bersama mengenai suatu masalah dalam bidang politik, ekonomi, atau
hokum. Deklarasi dapat berbentuk traktat, perjanjian bilateral, dokumen tidak
resmi, dan perjanjian tidak resmi.
4. Piagam (statue): yaitu himpunan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional, baik
tentang pekerjaan kesatuan-kesatuan tertentu maupun ruang lingkup hak,
kewajiban, tugas, wewenang, dan tanggung jawab lembaga-lembaga internasional.
5. Pakta (pact) yaitu traktat dalam
pengertian sempit yang pada umumnya berisi materi politis.
6. Persetujuan (agreement): yaitu suatu
perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis administratif. Agreement
ini biasanya merupakan persetujuan antar pemerintah dan dilegalisir oleh
wakil-wakil departemen tetapi tidak perlu diratifikasi oleh DPR Negara yang
bersangkutan. Sifat persetujuan tidak seformal traktat dan konvensi.
7. Protokol (protocol): yaitu
persetujuan yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi dan pada umumnya
dibuat oleh kepala Negara. Protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan
seperti penafsiran klausal-klausal tertentu dari suatu konvensi.
8. Perikatan (arrangement): yaitu suatu
perjanjian yang biasanya digunakan untuk transaksi-transaksi yang bersifat
sementara dan tidak seformal traktat dan konvensi.
9. Modus vivendi: yaitu dokumen untuk
mencatat suatu persetujuan yang bersifat sementara.
10. Charter: yaitu istilah yang digunakan dalam perjanjian
internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.
11. Pertukaran nota (exchange of notes): yaitu metode tidak
resmi yang sering digunakan dalam praktik perjanjian internasional. Metode ini
menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat mereka. Biasanya metode ini
dilakukan oleh wakil-wakil militer dan Negara serta dapat bersifat nonagresi.
12. Proses verbal: yaitu catatan-catatan atau
ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik atau
catatan-catatan suatu pemufakatan. Proses verbal ini tidak perlu diratifikasi.
13. Convenant : merupakan anggaran dasar dari PBB.
14. Ketentuan umum (general act): yaitu traktat yang bersifat
resmi dan tidak resmi.
15. Kompromis: yaitu tambahan atas persetujuan yang telah ada.
16. Ketentuan penutup (final act): yaitu ringkasan-ringkasan
hasil konferensi yang menyebutkan Negara-negara peserta, utusan-utusan dari
Negara yang turut berunding, serta masalah-masalah yang disetujui dalam
konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
B. Tahap-tahap Perjanjian Internasional
1. Perundingan
(Negotiation)
Perundingan merupakan
langkah awal dalam melakuka n suatu bentuk perjanjian internasional, baik
dilakukan oleh dua negara maupun lebih, tidak dapat diselesaikan hanya dalam
sekali perundingan, tetapi harus melalui beberapa kali perundingan. Pada tahap
ini negera-negara peserta dapat menunjuk organ -organ yang berkompeten untuk
menghadiri perundingan.
Menurut ketentuan hukum
internasional seseorang dapat dianggap mewakili negaranya dengan sah apabila
dapat menunjukkan Surat Kuasa Penuh (full powers atau credentials),
kecuali konferensi tidak menentukan per syaratan itu. Kepala negara, Kepala
pemerintaha (Perdana Menteri) dan Menteri Luar Negeri tidak ada keharusan untuk
menunjukkan surat kuasa penuh, karena jabatannya sudah dianggap mewakili
negaranya, termasuk juga perwakilan diplomatik.
2. Penandatanganan
(Signature)
Tahap penandatanganan
naskah perjanjian internasional itu, pada umumnya dilakukan oleh Menteri Luar
Negeri atau Duta Besar yang telah ditunjuk oleh negaranya untuk mewakili
pemerintahannya masing-masing. Naskah perjanjian internas ional yang
ditandatangani pada tahap itu disebut Memorandum of Understanding
(MoU). Penandatanganan naskah perjanjian multilateral dapat dilakukan bila
telah disetujui minimal 2/3 (dua pertiga) dari peserta yang hadir.
Penandatanganan dapat dilakukan oleh wakil-wakil bersurat kuasa penuh. Dapat
dinyatakan sambil menunggu ratifikasi dokumen yang sudah ditandatangani berlaku
sementara sejak penandatangan, dengan istilah good faith, yaitu
membebankan kewajiban kepada negara peserta/ penandatanganan untuk memba tasi
tindakan-tindakannya menaati pokok-pokok isi perjanjian, meskipun belum ada
sanksi hukumnya.
3. Pengesahan
(Ratification)
Setelah naskah perjanjian
internasional ditandatangani, naskah di bawa ke DPR untuk dipelajari dan
dibahas bersama-sama dengan pemerintah, tujuannya adalah untuk diketahui apakah
perjanjian internasional tersebut menguntungkan, baik dari segi kepentingan
nasional maupun kepentingan internasional. Jika dalam pembahasan diketahui
bahwa perjanjian internasion al dapat merugikan kepentingan nasional, DPR dapat
menolak perjanjian internasional.
4.Ratifikasi (ratification)
Ratifikasi atau pengesahan
merupakan tahap akhir dalam prosedur pembuatan perjanjian internasional.
Setelah diketahui bahwa naskah perjanjian dapat menguntungkan kepentingan
nasional atau kepentingan internasional, DPR akan memberikan persetujuannya.
Selanjutnya, naskah perjanjian itu diajukan Kepada Negara atau Kepala
Pemerintahan untuk dirati fikasi. Naskah perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan dapat berbentuk
perjanjian bilateral ataupun perjanjian multilateral.
Tujuan ratifikasi yaitu
untuk memberikan kesempatan kepada negara peserta guna mengadakan pengamatan
serta peninjauan secara seksama apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian
itu atau tidak.
Dalam praktek sistem
ratifikasi ada beberapa macam, yaitu :
a). Sistem ratifikasi
lembaga legislatif, artinya perjanjian baru mengikat setelah disyahkan
oleh lembaha legislatif. Contoh : Honduras, Turki, El -Salvador.
b). Sistem ratifikasi
badan eksekutif , artinya perjanjian disyahkan secara sepihak oleh
pemerintah (kepala negara atau kepala pemerintahan). Sistem ini dilaksanakan
oleh pemerintahan otoriter.
c). Sistem gabungan,
yaitu disyahkan oleh oleh badan legislatif dan eksekutif. Contoh Amerika
Serikat menggunakan sistem campuran, tetapi lebih menonjolkan badan
eksekutifnya. Perancis menggunakan sistem campuran yang menonjolkan badan
eksekutif
Hal lain yang berkaitan
dengan mengikatnya suatu perjanjian internasional adalah lembaga
persyaratan (reservation), dibutuhkan oleh suatu negara peserta perjanjian
multil ateral karena kepentingan nasionalnya kurang sesuai dengan isi
perjanjian, maka tidak menerima sepenuhnya isi perjanjian, sehingga mengajukan
persyaratan tertentu baru dapat menerima isi perjanjian. Berkaitan dengan ini
ada dua macam teori, yaitu :
a) Teori kebulatan
suara, yaitu persyaratan itu syah berlaku bila disetujui seluruh peserta
perjanjian.
b) Teori Pan Amerika,
perjanjian itu hanya berlaku bagi negara yang mengajukan persyaratan dan negara
yang menerima persyaratan. Negara yang menolak persya ratan berarti tidak ada
kaitan/ hubungan perjanjian dengan negara yang mengajukan persyaratan.
C. HAL-HAL PENTING DALAM RATIFIKASI
Ratifikasi
Dalam
praktek sistem ratifikasi ada beberapa macam, yaitu :
a). Sistem ratifikasi lembaga
legislatif, artinya perjanjian baru mengikat setelah disyahkan oleh lembaha
legislatif. Contoh : Honduras, Turki, El -Salvador.
b). Sistem ratifikasi badan
eksekutif , artinya perjanjian disyahkan secara sepihak oleh pemerintah
(kepala negara atau kepala pemerintahan). Sistem ini dilaksanakan oleh
pemerintahan otoriter.
c). Sistem campuran, yaitu
disyahkan oleh oleh badan legislatif dan eksekutif. Contoh Amerika Serikat
menggunakan sistem campuran, tetapi lebih menonjolkan badan eksekutifnya.
Perancis menggunakan sistem campuran yang menonjolkan badan eksekutif. Dilakukan Negara eksekutif dan legislative (paling banyak
dipakai negara-negara di dunia)
Hal
– hal yang penting dalam Ratifikasi perjanjian Internasional
1.
Persyaratan perjanjian
Unsur
yang penting adalah :
- Harus dinyatakan secara resmi/formal
- Bermaksud untuk membatasi,meniadakan,atau mengubah akibat hukum dan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian.
2.
Berlakunya perjanjian internasional
Mulai
berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh
Negara-negara perunding
3.
Pembatalan perjanjian internasional
Suatu
perjanjian internasional dengan berbagai alasan dapat dinyatakan batal demi
hukum dan dinyatakan berakhir.
1. Terjadinya pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan hokum nasional oleh salah satu Negara peserta
2. Adanya unsur kesalahan pada saat
perjanjian dibuat
3.
Adanya
unsur penipuan dari Negara peserta tertentu terhadap Negara peserta lain pada
waktu pembentukan perjanjian
4. Terdapat penyalahgunaan atau
kecurangan, baik melalui kelicikan dan penyuapan
5. Adanya unsure paksaan terhadap
wakil suatu Negara peserta.
5. PERJANJIAN-PERJANJIAN YANG
MEMERLUKAN PERSETUJUAN DPR
Hal-hal
penting dalam ratifikasi yang memerlukan persetujuan DPR
1. Perjanjian
internasional dengan Negara lain (lihat Pasal
11 ayat [1] UUD 1945). Jadi, setiap perjanjian internasional yang dibuat
oleh Presiden dengan Negara lain (baik bilateral maupun multilateral) harus
mendapatkan persetujuan DPR.
2. Perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang (lihat Pasal 11 ayat [2] UUD 1945).
Perjanjian internasional lainnya disini artinya perjanjian dengan subjek hukum
internasional lainnya, contohnya dengan organisasi internasional.
3. Pasal 11 ayat (3) UUD 1945
menyatakan bahwa ketentuan mengenai perjanjian initernasional ini diatur dengan
Undang-Undang. Berkaitan dengan ketentuan tersebut, Undang-Undang yang perlu
kita rujuk adalah Undang-Undang No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU Perjanjian Internasional
4. Penjelasan Umum UU Perjanjian Internasional
menjelaskan bahwa Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang
ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum
internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional lain. Sebelum perjanjian internasional
ini berlaku dan mengikat di Indonesia, perjanjian internasional itu perlu
disahkan. Yang dimaksud “Pengesahan”, menurut pasal 1 angka 2 UU Perjanjian Internasional, adalah perbuatan
hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance)
dan penyetujuan (approval).
5. pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional
menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden.
6. Penjelasan pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian
Internasional menyatakan bahwa:
a. Pengesahan
perjanjian internasional dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR;
b. pengesahan
perjanjian internasional yang dilakukan dengan keputusan presiden (“Keppres”), cukup diberitahukan saja kepada DPR.
7. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (“UU No. 10/2004”),
pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau
badan internasional tidak lagi dapat dilakukan dengan Keppres tapi dengan
Peraturan Presiden (“Perpres”). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 UU No.
10/2004.
8. Persetujuan
Indohesia - Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (sekarang Irian Jaya) yang
ditandatangani di New York (15 clanuari 1962), disebut Agreement. Akan tetapi,
karena pentingnya materi yang diatur di dalam agreement tersebut maka dianggap
sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan persetujuan DPR
dalam bentuk "pernyataan pendapat".
9. Perjanjian antara Indonesia - Australia
mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua New Guinea yang
ditandatangani di Jakarta, 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. Namun,
karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut maka
pengesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangkan ke dalam bentuk
undang-undang, yaitu UU No. 6 tahun 1973.
10. Persetujuan garis batas landas kontinen antara
Indonesia Singapura tentang Selat Singapura (25 Mei 1973). Sebenarnya materi
persetujuan ini cukup penting, namun dalam pengesahannya tidak meminta
persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam bentuk "Keputusan Presiden
6. PERJANJIAN YANG MEMERLUKAN DAN YANG TIDAK
MEMERLUKAN RATIFIKASI
Perjanjian yang memerlukan Ratifikasi :
1. Loan Agreement
Padalarang
2. Cileunyi
between the Government of the Republic of Indonesia
3. Kwait Fund for
Arab Economic Developmen (KFAED)
4.
International Covenant on Civil and
Political Rights
5. Persetujuan Indonesia-Belanda mengenai penyarahan Irian Barat
Perjanjian yang tidak memerlukan Ratifikasi :
1.
ILO (International Labour Organizatiaon)
2.
FAO ( Food and agriculture Organization)
4.
WHO (World Health Organization)
5.
ITU (International Telecommunication union